Kamis, 26 Desember 2013

Pembantaian di Sudan Selatan tewaskan 1.000 orang

Pemimpin negara-negara Afrika Timur akan bertemu di Kenya untuk membicarakan peningkatan kekerasan di Sudah Selatan, yang telah menewaskan 1.000 orang.
Pertemuan dilakukan sehari setelah Presiden Sudan Selatan Salva Kiir bertemu dengan perdana menteri Kenya dan Ethiopia.
Sementara itu, pertama diperkirakan akan tiba dalam 48 jam.
Kekerasan mulai terjadi sejak 12 hari lalu antara pasukan yang loyal kepada Kiir dan mereka yang mendukung mantan wakilnya Riek Machar.
Lebih dari 50.000 masyarakat sipil telah mengungsi di kamp PBB di Sudan Selatan.
Pemimpin regional Afrika Timur dari delapan negara blok, yang disebut Igad, akan bertemu di ibukota Kenya Nairobi untuk menindaklanjuti masalah yang menjadi perhatian dalam pembicaraan dengan Presiden Kiir di ibukota Sudan Selatan, Juba.
Ethiopia menggambarkan pembicaran tersebut sebagai "sangat konstruktif dan sangat jujur".
Bagaimanapun, Menteri Informasi Sudan Selatan Makuei Lueth mengatakan kepada kantor berita Associated Press, sejauh ini belum menjalin kontak dengan Machar.
Kepala misi PBB di Sudan Selatan, Hilde Johnson, sebelumnya mendesak pemimpin politik negara "untuk memberikan peluang damai".
"Negara yang dibangun setelah konflik selama beberapa dekade," kata dia, melalui video dari Juba.
Johnson mengatakan "lebih dari 1.000" orang telah tewas sejak kekerasan dimulai 15 Desember dan jumlah korban terus meningkat.
Dia mengharapkan bantuan pasukan militer PBB dan perlengkapan penting lainnya dalam waktu 48 jam.
Johnson mengatakan pertempuran terjadi di Malakal dan Bor.
Pertempuran antara dua kelompok etnis tersebut juga berdampak pada produksi minyak, yang memberikan sumbangan kepada pendapatan pemerintah sebesar 98%.
"Sebagian sumber minyak berada dalam penguasaan tentara pemberontak yang loyal kepada.... Machar dan kami khawatir mereka akan menyebabkan kerusakan fasilitas dan lingkungan," kata Menteri Perminyakan Stephen Dhieu Dau kepada kantor berita Reuters.

Kontroversi Isi Perut Gunung Padang



Kontroversi Isi Perut Gunung Padang
ilustrasi:Seorang anak menikmati panorama Gunung Gede Pangrango yang terlihat dari situs Megalitik Gunung Padang di kawasan Cianjur, Jawa Barat, Minggu (10/3). Selain menyajikan ketenangan, lokasi situs Gunung Padang juga menawarkan panorama pemandangan yang indah. TEMPO/Yosep Arkian


TEMPO.CO, Bandung - Sekitar 100 orang peserta Geotrek dari Bandung menyambangi situs megalitikum Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Sebagian tertarik ikut karena belum pernah ke sana. Peserta lain ada yang penasaran soal isi gunung yang lebih menyerupai bukit itu, terkait kontroversi para ahli yang belum tuntas juga sampai hari ini. Beragam pertanyaan pun terlontar ke penafsir (interpreter) acara jelajah bumi itu, Sutikno Bronto, seorang geolog dari Badan Geologi Bandung, Sabtu, 26 Oktober 2013.

Menurut Sutikno, Gunung Padang merupakan sisa gunung api purba. Melihat pegunungan sekelilingnya dari selatan ke timur, seperti Karuhun, Empet, dan Karamat serta Pasir (bukit) Pogor yang membentuk semi melingkar, diperkirakan itulah bekas dinding kawah gunung purba. Usia gunung api purba itu berkisar 32 juta hingga 300 ribu tahun lalu. “Gunung Padang muncul kemudian dari bekas letusan gunung api itu,” ujar Sutikno.

Gunung api purba itu dibuktikan dengan adanya sesar (patahan) Kancana yang memotong sesar besar Cimandiri. “Gunung api terbentuk dari magma yang keluar dari sobekan (sesar) kulit bumi,” ujarnya. Batuan Gunung Padang pun khas material gunung api, yaitu basalt andesit, seperti batu-batu balok bersegi empat dan lima yang bertebaran di teras situs megalitikum, serta disusun menjadi fondasi situs. Batu balok sepanjang 1 meteran itu berasal dari Gunung Padang. “Bukan diangkut dari tempat lain,” ujarnya.

Batu balok itu berasal dari magma yang membeku lalu menyumbat leher gunung, atau kubah lava di sekitar kawah Gunung Padang. Karena gempa vulkanik, dorongan magma berikutnya, faktor hujan dan cuaca, gempa tektonik, hingga tersambar petir, terwujud batu-batu balok lalu patah bertumbangan ke segala arah. “Batuan itu yang mengisi Gunung Padang sekarang, sebagian batuan di permukaan atas kemudian disusun menjadi situs megalitikum,” katanya. Ia yakin gunung itu terbentuk secara alamiah.

Adapun anggota Tim Terpadu Riset Mandiri Danny Hilman Natawidjaja yakin, gunung tersebut merupakan monumen besar zaman batu hasil susunan tangan manusia. Riset dengan survei arkeologi, geologi, pengeboran, dan geofisika bawah permukaan, menunjukkan adanya 4 lapisan struktur bangunan di Gunung Padang dengan perbedaan usia pembuatan. “Kelihatannya struktur bangunan besar yang dibuat dengan teknologi tinggi. Struktur ini hasil karya sipil arsitektur purba yang luar biasa hebat,” ujarnya.

Perbedaan umur lapisan diketahui tim dari hasil analisa radiokarbon dating tanah.Situs atau lapisan teratas dengan budaya batu menhir diperkirakan berusia 2500-3000 tahun lalu. Sedangkan dari pasir lapisan terdalam gunung yang diduga berongga, menunjukkan umur 6700 tahun sebelum Masehi. Namun begitu, kata Danny, pengujian umur itu perlu dilanjutkan dengan metode yang lebih lengkap. “Karena angka-angka ini memang seperti tidak masuk akal, sebab tidak sesuai dengan pengetahuan sejarah dan perkembangan peradaban manusia yang dipercaya umum pada saat ini,” ujarnya.

Selagi menunggu hasil para ahli berpolemik ilmiah, para pengunjung situs megalitikum Gunung Padang terus berdatangan. Ada yang berfoto-foto, menggambar, dan sekedar menikmati alam. “Kontroversi juga jadi daya tarik orang untuk datang,” kata Wahyudn, pengunjung dari Bandung.

Arkeolog: Sriwijaya Menjajah Hingga Madagaskar

Arkeolog: Sriwijaya Menjajah Hingga Madagaskar
ilustrasi:Seorang anak buah kapal (ABK) melintas di depan deretan kapal Phinisi yang bersandar di dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar, Senin (18/4). Pelabuhan Paotere masih dipakai sebagai pelabuhan perahu-perahu rakyat seperti Phinisi, Lambo, kapal-kapal motor nelayan dan pedagang antar pulau juga menjadi pusat niaga nelayan, dengan adanya fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dibangun pemerintah setempat. TEMPO/Subekti


 TEMPO.CO, Magelang - Arkeolog Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo, menyebut pelaut Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjelajah hingga mencapai Madagaskar di timur Benua Afrika sekitar abad ke-6 atau ke-7. “Ini terjadi saat kerajaan Sriwijaya berjaya di Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia,” kata Daud dalam seminar membahas Kemampuan Maritim Nusantara, Sabtu, 19 Oktober 2013. Ini merupakan rangkaian acara Borudur Writers and Cultural Festival di Hotel Manohara, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 17-20 Oktober 2013.

Menurut Daud, bahasa Malagis di Madagaskar menjadi bukti dampak kolonialisasi pelaut Austronesia. Ia mengatakan Austronesia merujuk pada peradaban maritim wilayah nusantara atau mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa Austronesia. Secara geografis ini berada di belahan bumi mulai dari Taiwan dan Hawai di bagian utara hingga Selandia Baru di selatan. Pada bagian barat Austronesia menjangkau hingga Madagaskar. Sedangkan, di bagian timur meliputi hingga Pulau Paskah di selatan Samudera Pasifik, masuk wilayah Chili.

Bahasa Malagis mirip dengan Bahasa di sekitar Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Bukti lain adalah hasil penelitian arkeolog Kamerun di Benua Afrika menemukan fitolit pisang atau unsur silika seperti kaca dalam tanaman. Fitolit itu ditemukan sekitar 2.500 tahun lalu. Selain pisang, padi juga mengandung fitolit.

Daud menyebut fitolit yang arkeolog temukan di Kamerun memiliki banyak kemiripan dengan tanaman yang tumbuh di nusantara. Ada juga persamaan bentuk alat musik, yakni kecapi dan seruling. Bukti itu, kata Daud menggambarkan peran pelaut Austronesia dalam penjelajahan Samudera Hindia sejak awal zaman logam atau akhir masa Neolitik. Pelaut Austronesia melakukan perjalanan jarak jauh karena perahu atau kapal mereka cukup tangguh mengarungi lautan.

Daud mengatakan kolonialisasi Sriwijaya terhadap Madagaskar terjadi karena banyak pendatang dari nusantara terutama yang kini sebagian besar wilayah Indonesia, membangun pos penguasaan wilayah. Mereka jumlahnya semakin berkembang dan membawa pengaruh peradaban terhadap Madagaskar. Kolonilasi Sriwijaya terhadap Madagaskar bukan dalam pengertian penjajahan seperti yang dilakukan Belanda ke Indonesia. Kolonialisasi yang Daud maksud lebih merujuk pada kuatnya pengaruh orang-orang Sriwijaya terhadap peradaban Madagaskar.

Arkeolog: Pelaut Jawa Pengaruhi Peradaban Jepang




Arkeolog: Pelaut Jawa Pengaruhi Peradaban Jepang
ilustrasi:

Petani berjalan di ladang persawahan yang di dipasangi pagar plastik di kawasan Sambirejo, Plupuh, Sragen, Jawa Tengah, Rabu (8/8). ANTARA/Herka Yanis Pangaribowo

TEMPO.CO
, Magelang - Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo mengatakan pelaut dari kawasan  Austronesia, khususnya dari Jawa di masa lampau menyebar hingga ke Jepang dan memempengaruhi peradaban Negeri Matahari Terbit ini.

Austronesia merujuk pada peradaban maritim wilayah nusantara. "Pelaut Austronesia membantu peradaban penduduk Jepang sehingga menghasilkan peradaban tinggi," kata Daud dalam seminar membahas  Kemampuan Maritim Nusantara, Sabtu, 19 Oktober 2013. Ini merupakan rangkaian acara Borudur Writers and Cultural Festival di Hotel Manohara, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 17-20 Oktober 2013.

Daud merujuk pada buku Ann Kumar berjudul Globalizing the Prehistory of Japan: Language, Gene, and Civilization menggambarkan bukti hubungan nusantara dengan munculnya peradaban Jepang. Ann Kumar, kata Daud mendapat gambaran yang utuh tentang hubungan peradaban Jepang dan Jawa.

Pelaut Austronesia mengenalkan tradisi bertanam padi di sawah, metalurgi, dan tenun, senjata, anyaman, dan piring sebagai unsur budaya baru. Ada juga pranata kerajaan, kekerabatan, dan keagamaan.

Daud menyebutkan peradaban Austronesia mendorong perubahan budaya di Jepang, yakni budaya Jomon pada 10.000-2.500 tahun lalu menjadi Budaya Yayoi pada 2.500 tahun lalu. Budaya Yayoi menjadi peletak dasar budaya Jepang yang berkembang hingga saat ini.

Budaya ini adalah hasil pengaruh budaya pelaut Austronesia dari Jawa yang berlayar hingga wilayah Kyushu. " Data pertanian padi, gigi, tengkorak, bahasa, dan genetika dirangkai seperti puzzle," kata Daud yang lulusan Australian National University Australia.

Temuan Kumar, kata Daud yang membuat tesis tentang Island in Betweeb, Prehistory of Northeastern Indonesian Archipelago menguatkan hipotesis tentang pelaut Austronesia yang mencapai Jepang. Misalnya Oppenheimer dalam buku berjudul Eden in the East.

Buku itu membahas pengaruh pelaut Austronesia terhadap peradaban Jawa. Namun, temuan itu menurut Daud harus dikuatkan dengan banyak bukti.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda