Mengenai
sejarah pulau Jawa telah ditulis banyak sekali, namun selalu masih
dapat ditambah informasi yang baru. Di sini saya ingin mempopulerkan
sedikit dari studi saya mengenai masa yang biasanya tidak ditinjau oleh
sejarawan, yaitu masa sebelum ada sumber tertulis. Masa ini biasanya
disebut prasejarah atau prehistori.
Merekonstruksi
prasejarah suatu bangsa pada umumnya lebih sulit dari pada
merekonstruksi sejarahnya. Seorang ahli sejarah pada prinsipnya berpijak
pada sumber tertulis peninggalan masa lampau. Dalam merekonstruksi
prasejarah umumnya dibutuhkan kerja sama para ahli dari berbagai bidang
ilmu, seperti prehistori, paleogeografi yang sangat erat terkait dengan
geologi, paleodemografi, linguistik komparatif, antropologi ragawi dan ilmu lainnya.
Penelitian
macam ini jauh lebih sulit dari pada studi sejarah, karena sumbernya
tersembunyi di dalam tanah atau dibutuhkan tek-nik khusus yang semuanya
agak membutuhkan banyak biaya. Maka dapat dikatakan bahwa rekons-truksi
prasejarah seperti menyusun puzzle; dari fragmen-fragmen perlu disusun gambar yang sebenarnya. Karena beberapa bagian puzzle ini
tidak/belum ditemukan, maka terpaksa dalam proses rekonstruksi para
ahli harus membuat interpolasi, guna mengisi fragmen yang kosong.
Fosil Manusia di Jawa
Kepulauan
Nusantara merupakan suatu kawasan yang sangat muda. Kurang lebih 60
juta tahun yang lalu terjadi suatu gempa bumi yang dahsyat sekali di
sekitar pulau Natuna. Gempa ini begitu besar, sehingga mengangkat
sebagian dasar laut menjadi daratan, yaitu seluruh rangkaian kepulauan
mulai dari Sumatera melalui pulau Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Maluku
sampai ke kepulauan Filipina. Lempeng tempat letaknya kepulauan
Nusantara terjebak oleh empat lempeng lainnya yang tetap menekan dari
Barat, Utara, Timur dan Selatan. Maka tidak mengherankan,
bahwa kepulauan kita ini masih agak tidak stabil dan penuh gunung api di
pinggirnya. Bentuk kepulauan Nusantara masih jauh berbeda dari sekarang.
Manusia
tertua, yang dikenal di dunia, berumur 1.8 juta tahun. Fosil manusia
ini adalah tengkorak dari lima individu, tempat pene-muannya di Perning,
Mojokerto dan ke dalam ilmu paleoantropologi dikategorikan sebagai Pithecanthropus modjokertensis atau menurut terminologi baru disebut Homo erectus modjokertensis. Inilah awal hunian manusia di pulau Jawa. Homo erectus hidup di Jawa --dan rupanya di sebagian pulau lain juga-- sampai kurang lebih 200 ribu tahun yang lampau. Zaman Homo erectus berakhir dengan Homo erectus soloensis. Dalam kurun waktu itu Homo erectus mengalami evolusi terutama ke arah pembesaran volumen otak.
Homo erectus hidup dari mengumpulkan hasil tanah dan berburu. Alat yang diproduksinya bercorak paleolitis.
Apa yang terjadi dengan Homo erectus ini,
sampai sekarang kurang jelas. Ada kemungkinan, bahwa ia punah, ada
kemungkinan bahwa mereka bermigrasi ke arah Timur dan Tenggara sampai
ke Australia, ada kemungkinan lain bahwa ia tidak tahan persaingan
dengan Homo sapiens. Namun untuk semua hipotesis ini tidak ada bukti, karena fosil yang berikut jauh lebih muda, yaitu 40 ribu tahun. Ini adalah Homo wadjakensis, yang jelas tergolong sebagai Homo sapiens.
Apa yang terjadi di kepulauan kita ini antara 200.000 dan 40.000 tahun
yang lampau, masih merupakan suatu misteri. Belum ditemukan fosil
manusia dari masa itu (Jacob 1967; 197?).
Jacob
(1967), manusia dari Wajak memiliki ciri badani inter-medier, yakni
baik ciri Austro-melanesid maupun ciri Mongolid primitif. Jacob
berpendapat, bahwa manusia dari Wajak merupakan leluhur penduduk seluruh
Nusan-tara. Dengan ini manusia dari Wajak dapat dipandang sebagai orang
Jawa yang tertua. Namun sejauh mana Jacob benar, sulit dapat diuji,
karena fosilnya sedikit atau malah sama sekali tidak ada. Untuk
sementara waktu interpolasi Jacob itu harus diterima, karena tidak ada
bukti lain berupa fosil manusia.
Dari
waktu itu telah ada bukti berupa alat batu bahwa sebagian besar
kepulauan Indonesia telah dihuni. Menurut kebudayaannya manusia telah
masuk tahap Paleolit akhir, di mana masih dipergunakan alat batu, namun
alat yang sudah agak sempurna. Batu itu digabungkan dengan kayu,
sehingga tercipta pemukul, tombak, dan panah. Pada masa itu pula telah
mulai berkembang hortikultura di kawasan Asia Tenggara. Mula-mula
didomestikasi ubi-ubian, namun beberapa waktu kemudian telah ditanam
tumbuhan berbijian seperti padi. Domestikasi binatang baru ter-laksana
dalam periode berikut. Sekitar 3.000 tahun yang lalu perkembangan
kemahiran mengerjakan logam (Jacob 1976).
Fosil-fosil
lainnya baru ber-asal dari masa 4-3 ribuan tahun yg lampau. Adanya masa
agak pan-jang antara fosil tidak berarti bahwa fosil ini tidak ada.
Sebab yang sebenarnya ialah bahwa Indonesia memiliki hanya beberapa ahli
antropologi ragawi dan mereka pun tidak mempunyai uang cukup untuk
mengadakan penelitian secara sistematis baik di Jawa maupun di
pulau-pulau lainnya. Malah agak sering terjadi, bahwa jika pada galian
untuk membangun perumahan. Ditemukan tulang-tulang, yang da-pat
merupakan sumber informasi baru, maka hal ini tidak dilaporkan kepada
instansi yang bersangkutan, agar pekerjaan jangan terganggu. Dengan
demikian banyak informasi masa lampau hilang selamanya.
Terpaksa para ahli berusaha mengisi tampat kosong dalam puzzle ini dengan interpolasi dari data fosil-fosil yang di negara tetangga.
Berdasarkan
komparasi ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebagian besar kawasan
Indonesia pada masa Mesolit diduduki oleh anggota ras Melanesid,
Australid dan Weddoid, berarti dari orang berwarna kulit agak gelap dan
rupanya berambut berombak atau ikal. Mulai dengan Neolit jelas bertambah
unsur rasial berciri Mongolid. Hal ini merupakan tanda adanya migrasi
populasi dengan ciri Mongolid dari Utara ke arah Selatan (Jacob 1967;
Glinka 1981).
Proses
ini dapat dimengerti, jika diperhatikan, bahwa pada zaman Pleistosin
permukaan laut turun, sehingga Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali
tergabung dengan daratan Asia merupakan satu benua, terkenal sebagai Sundaland, sehingga migrasi dari Utara ke Selatan tidak merupakan masalah besar. “Jembatan” darat ini akhirnya putus sekitar
11.000 tahun yang lampau. Maka selama beberapa puluh ribu tahun migrasi
ke arah selatan ini dapat berlangsung terus (Bemmelen 1949; Glinka
1981; 1985; 1987).
Karena
kurangnya bukti be-rupa fosil, maka agak sulit mengatakan sesuatu yang
pasti. Hanya diduga bahwa migrasi ini pasti tidak besar-besaran,
sehingga dewasa ini proses ini dilihat lebih sebagai peresapan gen (gene flow)
ke dalam populasi asli. Karena diduga bahwa banyak gen Mongolid dominan
terhadap gen penduduk asli dan masanya agak panjang, maka populasi asli
yang berciri Austromelanesid lambat-laun berubah dengan dominasi ciri
Mongolid, seperti dapat kita saksikan dewasa ini antara lain pada
populasi Jawa (Glinka 1981).
Dari Masa Sekarang
ke Masa Lampau
Sistuasi
macam ini memaksa saya untuk mendekati seluruh masalah etnogensis dari
aspek lain, yakni Membuat ekstrapolasi dari masa sekarang ke masa lampau (Glinka 1978). Guna mencapai tujuan ini saya memperbandingkan data antropometris dari 110 populasi dari seluruh kawasan Indonesia, Ma-laysia, Taiwan, Filipina dan Madagaskar. Hasilnya ialah satu diagram raksasa, di mana semua populasi teratur menurut mirip badaninya.
Ringkasan clustering ini disajikan dalam Tabel 1.
Seluruh diagram terbagi jelas atas dua bagian besar: I dan II. Cluster I terdiri dari populasi yang menduduki pulau-pulau luar Nusantara, tambah populasi-populasi Malayu dari pulau Taiwan; cluster II mengandung populasi dari Kalimantan, Madagaskar dan populasi penduduk primitif dari Filipina.
Berdasarkan pembagian ini saya menarik hipotesis, bahwa populasi dalam cluster I dan II ini merupakan dua kelompok, yang berkembang secara terpisah atau berasal dari migrasi yang berbeda.
Cluster I terbagi lagi dengan jelas atas dua subcluster: A+B dan C+D+F. Subcluster A+B mengan-dung populasi dari NTT, Siberut, Tengger, Nias Selatan serta populasi Semang dan Senoi dari Malaka; subcluster C+D+F berisi populasi dari Nias, Sipora,
Sumatera, Jawa, Madura, Bawean, Bali, Lombok, dua popuasi dari Flotim,
Tionghoa dari Indonesia dan populasi dari Taiwan. Inilah subcluster yang menarik minat kita, karena mengandung populasi Jawa.
Subcluster A+B meliputi ter-utama populasi rasial bersifat Aus-tromelanesid. Subcluster C+ D+F mengandung populasi bersifat rasial jelas Mongolid. Subcluster inilah yang mendapat gen-gen dari populasi Mongolid dari arah Utara, sehingga akhirnya sendiri menjadi Mongolid.
Hanya
sekian dapat dikatakan berdasarkan penelitian antropologi ragawi dengan
ekstrapolasi dari masa kini ke masa lampau. Bagaimana proses ini
berlangsung secara rinci, hanya dapat dijawab oleh studi komparatif
paleoantropologi berdasarkan fosil/kerangka yang masih tersimpan dalam
tanah.
Waktu Terbentuknya Etni Jawa
Dari
peninggalan puing bangunan, prasasti maupun sumber tertulis telah
tersusun tahap-tahapan seja-rah dengan pengaruh Hinduisme, Budisme dan
Islam serta pengaruh Barat. Namun kelompok etnis Jawa telah ada sebelum
pengaruh dari luar ini. Kapan terjadinya? Untuk menjawab masalah ini
perlu kita pindah ke linguistik historis komparatif.
Linguistik
historis komparatif memiliki beberapa metode untuk membandingkan
bahasa-bahasa berbagai kelompok etnis. Salah satunya adalah komparasi
melalui leksikostatistik, yaitu dengan menghitung perbendaharaan kata
bersama dalam dua bahasa. Studi semacam ini menyangkut
sebagian besar bahasa Malayo-Polinesia pernah dilakukan Dyen (1962;
1965). Dyen memberikan kebersamaan da-lam perbendaraan kata dalam bentuk
persen. Berdasarkan persen-tase ini dengan asumsi, berapa lama waktu
retensi (pertahanan kata yang sama dalam dua bahasa), kita dapat
memperkirakan, kapan dua bahasa terpisah satu dari yang lain menjadi
dialek dan akhirnya bahasa tersendiri. Bahasa merupa-kan komponen budaya
yang amat penting, kelahiran suatu bahasa dapat dianggap sebagai
kelahiran kelompok etnis yang bersangkutan.
Ternyata, pembentukan/pe-misahan bahasa di Nusantara berlangsung kurang lebih 5.000 tahun yang akhir ini (Tab. 2).
Menurut pembagian oleh Dyen (1965), bahasa Jawa masuk
rumpun berikut ini:
a. West Indonesian Cluster
a.1. Sundaic Hesion
a.1.1. Javo-Sumatran Hesion
a.1.1.1. Malayic Hesion
a.1.1.2. Sundanese
a.1.1.3. Javanese
Tabel 2. Persentase Kebersamaan Leksistatistik dan Waktu Pembentukan Bahasa
(berdasarkan Dyen 1965; perhitungan waktu oleh J.Glinka)
Bahasa ke-1
|
Bahasa ke-2
|
% bersama
|
tahun lalu
|
Enggano
|
Austronesian Linkage
|
11.1
|
4926
|
Sawu
|
Moluccan Linkage
|
20.3
|
3573
|
Kei
|
Moluccan Linkage
|
20.9
|
3508
|
Sekar
|
Moluccan Linkage
|
21.1
|
3486
|
Leti
|
Moluccan Linkage
|
21.1
|
3486
|
Sumba
|
Moluccan Linkage
|
21.4
|
3455
|
Malagasy
|
Hesperonesian Linkage
|
23.0
|
3293
|
Buru
|
Moluccan Linkage
|
23.8
|
3217
|
Ambic Subfamily
|
Moluccan Linkage
|
23.8
|
3217
|
West Indonesian Cluster
|
Hesperonesian Linkage
|
23.9
|
3207
|
Celebes Hesion
|
Hesperonesian Hesion
|
23.9
|
3207
|
Sikka
|
Hesperonesian Hesion
|
25.8
|
30.36
|
Sentah
|
Hesperonesian Linkage
|
26.1
|
3010
|
Bugis Subfamily
|
Bareic Subfamily
|
26.5
|
2976
|
Gorontalic Subfamily
|
Nothwest Hesion
|
27.2
|
2917
|
Gorontalic Subfamily
|
Malayan Subfamily
|
29.2
|
2758
|
Gayo
|
Batak Subfamily
|
30.8
|
2639
|
Batak Subfamily
|
Sundic Hesion
|
30.8
|
2639
|
Dayak Subfamily
|
Malayan Subfamily
|
33.4
|
2457
|
Balinese
|
Madurese
|
33.8
|
2431
|
Sasak
|
Malayan Subfamily
|
34.1
|
2411
|
Cru
|
Malayan Subfamily
|
34.1
|
2411
|
Javanese
|
Malayic Hesion
|
36.7
|
2246
|
Sundanese
|
Javanese
|
38.0
|
2168
|
Macassarese
|
Buginese
|
42.5
|
1917
|
Achinese
|
Malayan Subfamily
|
43.7
|
1855
|
Baree
|
Linduan
|
46.4
|
1721
|
Ambonese
|
Paulohi
|
49.0
|
1598
|
Lampung
|
Kroe
|
56.2
|
1291
|
Karo
|
Simalungun
|
56.9
|
1263
|
Toba-Angkola
|
Simalungun
|
57.7
|
1232
|
Ngadju
|
Sampitic Hesion (Katingan)
|
59.9
|
1148
|
Gorontalo
|
Suwawa
|
59.9
|
1148
|
Sampit
|
Katingan
|
66.8
|
904
|
Malay
|
Minangkabau
|
68.8
|
838
|
Sesuai perhitungan ini bahasa Jawa dan Sunda, pada waktu itu masih sebagai satu bahasa, yang berpisah dari rumpun Malayic Hesion 2246 tahun yang lalu; lantas bahasa Jawa dan Sunda terpisah satu dari yang lain kurang lebih 2168 tahun yang lampau.
Bentuk kepulauan Indonesia / Australia pada Pleistosin Akhir
(Howells & Schwidetzky 1981)
Penutup
Sebagai
kesimpulan dapat dikatakan, bahwa Jawa telah dihuni oleh manusia
kurang lebih selama 2 juta tahun. Ada indikasi cukup kuat, bahwa evolusi
Homo erectus ke arah Homo sapiens terjadi di sini.
Namun dari jangka waktu antara 200 sampai 40 ribu tahun lalu kita tidak
memiliki fosil, yang mengizinkan kami untuk merekonstruksi proses
evolusi ini. Sejak 40 ribu tahun yang lalu Jawa dan sebagian besar
kepulauan Nusantara telah dihuni oleh Homo sapiens, mula-mula
dari ras Autromelanesid, yang sejak kurang lebih 10 ribu tahun mengalami
proses mongolidisasi. Proses mongolidisasi ini agak intensif dalam
seribu tahun yang akhir ini. Etni Jawa terbentuk sekitar 2168 tahun yang
lalu.
Pengetahuan
kita mengenai prasejarah Nusantara masih sangat minimal, di mana
terdapat lebih banyak bagian gambar yang belum ditemukan (missing link)
dari pada yang telah dikenal. Kita amat berbangga, bahwa prestasi
bangsa Indonesia baik dalam masa lampau maupun dewasa ini besar. Namun
kebanyakan kebanggaan ini terbangun di atas dugaan dan hipotesis melulu.
Kenapa pemerintah atau sponsor lainnya tidak berminat, agar gambar puzzle
ini lengkap? Tidak ada uang untuk penelitian; hanya sedikit orang yang
berminat untuk meneliti masalah ini. Peminatnya sedikit, karena gajinya
tidak mencukupi untuk hidup, maka orang muda kita lebih suka memilih
profesi lain, khususnya profesi yang menghasilkan uang. Maka kita
mengalami suatu paradoks: lebih banyak orang asing berminat deng-an
sejarah dan prasejarah Indonesia dari pada putra bangsanya sendiri. Sayang!
Daftar Pustaka
Bemmelen, R.W. van, The Geology of Indonesia and the Adjacent Archipelagoes. (The Hague, 1949).
Dyen, I., "Lexicostatistical Classification of the Malayo-polynesian Languages," Language, 1962, 38: 38-46.
Dyen, I., "A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages" Indiana University Publications in Anthropology and Linguistics. Memoir 19 (Bloomington: Indiana University Press, 1965).
Glinka, J., Gestalt und Herkunft: Beitrag zur anthropologischen Gliederung Indonesiens (Bonn, St. Augustin bei Bonn: Anthropos-Institut, 1978).
Glinka, J., "Racial History of Indonesia," dalam I. Schwidetzky (ed.) Rassengeschichte der Menschheit. 8: 79-113. (MĆ¼n-chen-Wien: R. Oldenbourg Ver-lag. 1981).
Glinka, J., Perkembangan Alam Hi-dup (Ende: Penerbit Nusa Indah. 1985).
Glinka, J., Sekitar Terjadinya Manu-sia (Antropogenese). (Ende: Pe-nerbit Nusa Indah, 1987).
Howells, WW, I Schwidetzky, "Oceania," dalam I. Schwidetzky (ed.), Rassengeschichte der Menschheit. (MĆ¼nchen-Wien: R. Oldenbourg Verlag, 1981, 8: 116-66).
Jacob, T., Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region. (Utrecht: Ultrecht Universiteit, 1967).
Jacob, T., (1976) "Man in Indonesia: Past, Present and Future," Modern Quaternary Research in Southeast Asia, 2: 39-48. Rotterdam, A.A. Balkema.
0 komentar:
Posting Komentar
jika menyalin artikel diharap ijin dulu sebagai rasa hormat sesama blogger dan jangan lupa kritik dan sarannya!!