Pembangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan
berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai
prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman
kelangkaan pangan dunia yang dampaknya semakin terlihat nyata. Berkaca
dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik
(APEC) di Vladivostok, Rusia, 8-9 September lalu, yang mengangkat tema
ancaman krisis pangan global, perhatian terhadap masalah krisis pangan
harus lebih ditingkatkan.
Tema krisis pangan kembali mengemuka
setelah jumlah penduduk dunia diperkirakan akan melonjak menjadi 9
miliar pada tahun 2050, naik sebelumnya 7 miliar pada tahun 2011.
Perhatian terhadap masalah tersebut semakin bertambah menguat akibat
ancaman krisis pangan kini semakin membesar, terutama setelah Organisasi
Pangan dan Pertanian pada Agustus lalu mengeluarkan laporan kenaikan
harga-harga pangan dan Departemen Pertanian Amerika Serikat kembali
merevisi angka estimasi penurunan produksi pangan, terutama biji-bijian.
Bahkan, FAO secara serius mengingatkan Indonesia tentang ancaman krisis
pangan ini.
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan biji-bijian dunia telah mencapai
17 persen (38 poin dalam indeks harga) dibandingkan dengan harga bulan
Juni 2012. Departemen Pertanian AS (USDA) juga telah merevisi estimasi
produksi jagung, yang diperkirakan menurun 17 persen pada Agustus 2012
karena kekeringan yang sangat dahsyat. Harga jagung di tingkat
internasional juga telah meningkat sampai 23 persen. Bahkan, kenaikan
harga jagung tercatat 46 persen jika dibandingkan dengan harga pada Mei
2012. Kenaikan harga jagung masih akan terus berlangsung karena sekitar
42 persen jagung dunia dihasilkan oleh AS, terutama di daerah Midwest,
yang kini bermasalah karena kekeringan hebat.
Kekeringan hebat
yang melanda Rusia, sebagai salah satu produsen gandum dunia, sehingga
telah menaikkan harga gandum sampai 19 persen. Stok gandum dunia
diperkirakan menurun menjadi 179 juta ton sehingga volume yang
diperdagangkan pun akan menurun, yang akan mengerek harga gandum lebih
tinggi lagi. Dengan ketergantungan 100 persen pada gandum impor, dan
total impor gandum Indonesia yang mencapai 6,6 juta ton (naik 6,2
persen), kenaikan harga tepung terigu di dalam negeri akan memiliki
dampak berantai yang pasti berpengaruh terhadap kinerja sektor riil di
Indonesia.
Tingkat produksi Rusia pada tahun 2012 diperkirakan
angkanya akan mencapai 70-75 juta ton gandum dibandingkan pada tahun
sebelumnya sebesar 94 juta ton. Kondisi ini ternyata mengindikasikan
bahwa krisis pangan kini telah menjadi ancaman serius bagi sebagian
besar penduduk dunia.
Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman
yang baik dalam merumuskan respons kebijakan dalam meredam dampak krisis
pangan global 2008-2009. Kebetulan juga musim hujan cukup bersahabat
sehingga produksi beras, sebagai pangan pokok, juga meningkat bahkan di
atas 6 persen. Perum Bulog juga mampu melakukan manajemen logistik beras
dan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Kini, musim hujan di
Indonesia diperkirakan masih akan terlambat sehingga kinerja produksi
pangan tak sebaik tahun 2008-2009.
Secara hakikat, sejarah tak
akan pernah dapat diulang secara sama persis sehingga respons kebijakan
yang harus segera diambil pemerintah juga perlu lebih inovatif. Benar
bahwa Kementerian Pertanian telah melakukan rapat koordinasi dengan
seluruh kepala dinas pertanian. Begitu pula konsep dan strategi telah
disusun dengan sejumlah perencanaan akan menambah jumlah anggaran
produksi pangan, membuka akses pada daerah-daerah yang terisolasi, serta
meningkatkan pendapatan para petani. Namun langkah nyata dan
pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan sangat ditunggu segera karena
ancaman krisis pangan tidak akan dapat diselesaikan hanya di ruang
rapat.
5 (lima) Masalah Pembangunan Pertanian
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi, masalah Pertama
yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian.
Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami
degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian
pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap
(ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan
produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan
lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64
juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan
kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih
rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat
seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil
riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan
mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik
dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh
produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih dari 2,5
persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen. Berdasarkan
kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut menunjukkan lahan
sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi tanpa diimbangi
pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang ditanami
palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah.
Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa
memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada
anaknya turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan
pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
Masalah kedua
yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah
pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di
Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha)
berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari
non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi
prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga
untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada
akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah
kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih
rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah
untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu
penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Selanjutnya, masalah ketiga adalah
adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian
modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan
yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk
pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan,
perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah
dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja
produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang
menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan
yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan
ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu
saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap
daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari,
dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam
sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah
penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi
kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga
ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat
terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan
kebijakan mekanisasi pertanian
Hal lainnya sebagai masalah keempat,
muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan.
Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga
produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya
aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan
pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi
biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan
ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian
kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai
pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah
menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan
Energi.
Yang terakhir menyangkut, masalah kelima
adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga
menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena
pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.
Pada
dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik
untuk hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga
untuk sifat dari kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan
kegiatan usaha tani diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan
seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk
pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari
masalah-masalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi
tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan
nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan
masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.
0 komentar:
Posting Komentar
jika menyalin artikel diharap ijin dulu sebagai rasa hormat sesama blogger dan jangan lupa kritik dan sarannya!!